hujan deras

Aku Panggil Dia Sahabat

Posted on: 21 Januari, 2008

Cerpen: Hujan

Dia masih lelaki yang kunikahi tiga puluh delapan tahun yang lalu. Secara keseluruhan tidak ada yang berubah dari dia. Juga hubungan diantara kami sampai saat ini. Tidak ada yang berubah. Walaupun kenyataannya ada yang lain diantara hubungan kami…

KETIKA aku masih berusia delapan belas tahun, untuk pertama kalinya setelah kami sama-sama remaja, aku bertemu dengan Faisal. Pada waktu itu, dia baru saja pulang dari Soviet, setelah empat tahun belajar karena mendapat beasiswa yang diberikan pemerintah Soekarno. Lelaki yang kemudian aku panggil dengan sebutan „suami“ itu rutin datang ke rumah, untuk melihat keadaan orang tuaku yang saat itu tengah sakit. Faisal muda tidak seperti Faisal yang selama ini kukenal. Dulu dia begitu dingin setiap kali betemu dengan ku. Dia selalu datang dengan pacarnya untuk mengantar bulik Ida, ibunya. Benar, kami adalah saudara sepupu. Namun begitu, kami sesama anak memiliki sifat kaku dan cendrung tidak bersapaan setiap kali bertemu. Hingga pada akhirnya kami dipaksa untuk saling bicara.

Dia lelaki yang sangat bertanggung jawab kepada keluarga. Bahkan ketika pada akhirnya kami dipaksa kawin oleh orang tua kami. Faisal rela meninggalkan pacarnya hanya untuk memenuhi amanah ibunya. Kami menikah di bulan September, tiga puluh delapan tahun silam. Satu yang penting untuk kami ingat, kala itu kami tidak dibekali rasa cinta.

Aku berusia dua puluh masa itu. Aku juga sedang menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang lebih kukenal, daripada Faisal. Awalnya menikahi Faisal sama saja seperti menghukum diri sendiri. Aku tidak pernah mengenalnya secara utuh. Apalagi untuk mencintainya. Rahmad lelaki yang lebih kukenal, dulu pernah memintaku pada Bunda. Namun oleh Bunda, Rahmad tidak diizinkan. “Sudah ada lelaki untuk anakku, pulanglah,“ ujar Bunda kepada Rahmad suatu waktu. Kata-kata itu membuatku tidak nyenyak tidur, bahkan ketika akhirnya aku dan Faisal benar-benar menikah.

Dugaanku benar. Akhirnya mahligai yang kami bangun dengan keterpaksaan itu terancam bubar. Hal itu terjadi dua bulan setelah kami menikah. Faisal juga tidak pernah memiliki cinta untuk ku. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Rumah kami selaksa neraka. Tidak ada yang bisa dilakukan pengantin muda yang tak punya cinta seperti kami, selain mempertahankan ego masing-masing. Masalah kecil kami besar-besarkan. Aku sendiri akhirnya lebih sering pulang ke rumah orang tuaku daripada harus tidur dengan lelaki yang sama sekali tak mencintaiku. Aku betul-betul kecewa dengan pernikahanku.

Delapan bulan setelah pernikahan kami yang semakin membeku, Bunda meninggal dunia. Seorang perempuan yang menjadi pelindungku selama ini akhirnya meninggalkanku juga. Aku semakin menatap suram pada masa depan hidupku.

Kemudian Faisal membawaku pulang dan mengurungku di rumah. Aku tidak diperkenankan melakukan apapun. Bahkan di dalam rumah yang dibelikannya untuk kami. Dia memperkerjakan seorang pembantu untuk mengerjakan keperluan rumah. Faisal mulai mendekatiku dan perlahan menghangatkan kebekuan di antara kami. Lambat laun kurasakan juga ada perubahan berarti dari sikapnya itu. Dia tak lagi pulang malam dan selalu memberikan waktu untukku. Faisal juga mencoba untuk selalu mengikuti apa mauku. Dari hal menentukkan warna sprei sampai membeli mobil baru. Semuanya dilakukan atas seleraku. Tak ada yang disembunyikan Faisal dariku.

Tapi aku tetap gelisah, dan agaknya kegelisahan itu semakin menjadi-jadi saja. Sebab aku merasa tak memiliki perhatian khusus kepadanya. Sampai pada akhirnya putri sulung kami, Fatimah lahir ke dunia. Aku belum mempunyai perasaan lebih dalam kepada Faisal suamiku. Aku merasa bersalah pada Faisal karena merasa selalu menang dalam setiap diskusi dan pembicaraan yang kami lakukan sebelum tidur, „Iyah, lakukan sajalah apa yang kamu anggap baik, aku baik-baik saja. Selama itu mendatangkan hasil yang baik,“ ujar Faisal setiap kali menyimpulkan pembicaran kami setiap malam. Sambil mengelus rambutku, dia perlihatkan senyumnya. Senyum yang akan terus kuingat.
Kemudian hidup kami benar-benar berubah setelah kelahiran Farhan, putra kedua kami. Faisal menjadi semakin dewasa dan menjadi kepala keluarga yang bertangung jawab. Namun aku sering menganggap sikap kerasnya untuk kebaikan aku dan anak-anakku sebagai suatu perbuatan yang over protected.

Diam-diam, seluruh anggota keluarga kami mulai menaruh rasa hormat atas kerukunan kami yang sejak kematian Bunda nyaris tidak pernah terulang lagi pertengkaran. Bila adik-adikku atau sepupu Faisal ingin menikah dan membangun sebuah keluarga yang sakinah, maka orang-orang tua di keluarga kami selalu mengingatkan untuk selalu hidup rukun seperti yang telah aku dan Faisal lakukan.
Begitu pula dengan para tetangga, khususnya ibu-ibu di komplek rumah kami selalu mengaku padaku bahwa mereka selalu iri bila melihat faisal dan aku berjalan. “Duh, Mba Diah, tetap mesra ya walaupun anaknya sudah lima,“ begitulah biasanya ibu-ibu komplek berkata padaku.

“Mas Faisal itu memang lelaki yang baik ya. Beruntunglah Mba Diah mempunyai suami seperti dia.”

###

Setelah ulang tahun pernikahan kami yang ke-tiga puluh tujuh, tahun lalu. Aku dan Faisal akhinya mulai mengerti hakikat sebuah hubungan. “Mulanya aku tak pernah percaya dengan sebuah lembaga yang disebut perkawinan,“ ujarnya dengan suara yang mulai tua. Aku masih mendengarkan ceritanya, dan mencoba larut di dalam setiap baris kalimat yang keluar dari mulutnya. Lelaki itu mengelus rambutku. Matanya yang mulai lelah menua, serta rambutnya yang penuh dengan uban adalah saksi perjalanan hidup kami. “Separuh usia hidupku kuabdikan sepenuhnya pada lembaga ini.“ Sambungnya. Aku terus menatap sepasang mata yang lelah itu. Dia sudah tak tampan. Matanya sudah masuk kedalam dan keriput sudah menghiasi tubuhnya. Aku tak perlu merisaukannya lagi, sebab sudah tak mungkin ada gadis yang tergila-gila padanya. Itulah kekhawatiranku sesungguhnya, lebih tiga puluh tujuh tahun hidup bersamanya.

“Diah, sekarang aku mau merubah hubungan ini menjadi sebuah hubungan yang lebih erat lagi,“ aku mulai paham arah perkataan suamiku itu.

“Rubahlah dan lakukan saja apa yang kamu anggap baik, aku baik-baik saja. Selama itu mendatangkan hasil yang baik,“ selama lebih dari tiga puluh tujuh tahun hidup seranjang dengannya, baru kali itu aku setuju dengan kata-katanya.

Faisal, lelaki yang telah menghabiskan hari-harinya bersamaku itu sudah terlihat semakin tua. Hampir setahun kami tak tidur bersama dan bercerita, mengenai anak-anak kami yang tumbuh dengan cepatnya, tentang cucu-cucu, tentang masa lalu, tentang masa pensiun dan tetangga yang telah meninggal satu persatu lebih dulu. Diskusi mengenai memilih warna sprei dan lainnya. Kami hidup berdua. Hanya berdua. Menghabiskan masa persahabatan kami di dipan yang berbeda.

Jakarta, 4 Juli 2005

Tinggalkan komentar

Laman

Link

Laci bulukan

Blog Stats

  • 188.320 hits